Perjalanan selama 3 jam dari Milan, berakhir di Stazione Venezia, Santa
Lucia. Begitu keluar dari stasiun, kelelahan Ken setelah dua hari meliput acara
fashion di kota pusat mode dunia seolah terbayar. Pemandangan indah yang
belasan tahun lalu sempat akrab dengannya kini terbentang di hadapannya.
Kanal-kanal dengan airnya yang berwarna hijau lumut, bersih tak ada sampah
terlihat. Bus air, taksi air dan tentu saja gondola dengan pendayungnya yang berkaus
garis-garis biru-putih, hilir mudik membawa penumpang. Kota ini tidak banyak
berubah. Kota yang dinamis, bergerak, dan semarak dengan ratusan turis dari
berbagai negara yang sedang menikmati libur musim panas.
Ken berjalan menyusuri tepian kanal. Siang yang terik. Ken mengenakan topi
untuk sedikit mengurangi panasnya matahari. Aroma air sungai agak menyengat
karena panasnya matahari bercampur udara yang lembab. Beberapa gondoliers,
pengayuh gondola terlihat tengah duduk-duduk menunggu penumpang sambil
mengobrol. Sebagian lagi tampak sibuk menawarkan jasanya pada turis-turis yang
melintas. Gondola-gondola yang ditambatkan di tepian kanal tampak
bergoyang-goyang terkena hempasan air. Di kiri kanan kanal berjajar rumah-rumah
dengan disain Byzantium. Masih seperti dulu. Mungkin perubahan yang signifikan
adalah makin banyaknya kafe-kafe dan restoran di sepanjang kanal.
“Gue tunggu di Gelato Fantasy jam 13.00.”
Itu inbox dari Raya, setengah jam yang lalu. Sekarang 20 menit menuju jam
13.00.
Meski dari dulu terbiasa on time,
tapi kali ini Ken sedang tidak ingin dibatasi waktu. Tidak ingin terburu-buru.
Cukuplah deadline reportase sehingga semalaman begadang, yang membuatnya merasa
dikejar waktu, sampai akhirnya bisa mengirim tulisan pagi tadi. Toh, Ken tak ingin membuat Raya gusar. Dia
mengetik pesan untuk Raya.
“Sebentar lagi gue sampai.”
Raya membaca pesan itu tepat ketika sampai di depan Gelato Fantasy. Sebuah
gelateria, kafe dengan menu khusus gelato alias es krim-nya Italia. Di situlah
dulu Raya pertama kali mengenal Ken lebih dekat. Empat belas tahun lalu, mereka
sama-sama mengikuti program pertukaran pelajar dari AFS. Mereka sama-sama dari
Jakarta tapi dari SMA yang berbeda. Suatu ketika seluruh peserta program AFS
dari berbagai negara yang tinggal di Roma dan sekitarnya berkesempatan
mengunjungi Venesia.
Sebagai sesama Indonesia, Raya menemukan Ken jadi tempat curhat yang asyik
tentang segala persoalan selama jadi murid di sebuah sekolah di Kota Roma.
Tentang kendala bahasa, juga tentang beberapa pelajaran yang tidak bisa dia
mengerti sama sekali. Bayangkan saja, dia yang bersekolah di jurusan IPA ternyata
harus belajar filosofia dan istoria dell’arte alias sejarah seni
juga. Sejak itu memang Ken lah yang jadi tempat curhat Raya. Hampir tiap hari
Raya menelepon. Sampai pada satu titik Ken harus membunuh rasa cinta yang mulai
tumbuh. Alasannya, masih terlalu belia bagi mereka dan tentu saja karena ingat
dengan tujuan mereka sebagai pelajar yang mewakili bangsa. Tapi yang terutama
adalah karena Ken tahu, Stefano, host-brother-nya
Raya lebih duluan punya rasa itu pada Raya.
Program pertukaran pelajar selama 11
bulan, ternyata membuat Raya jatuh cinta dengan Italia. Begitu lulus SMA dia
kembali untuk melanjutkan studi di Universita per Stranieri di Perugia.
Sementara Ken tetap di Jakarta melanjutkan kuliah di Fakultas Komunikasi. Setelah
itu mereka kehilangan kontak. Baru beberapa bulan lalu, Raya menemukan Ken di
jejaring sosial. Saling menyapa di dunia maya. Termasuk saat Ken ditugaskan
kantornya liputan ke Milan. Ken ingat untuk memberitahu pada Raya.
Gelato Fantasy, 13.17.
Interior yang dulu dicat dengan warna senada, kini berubah penuh warna-warna
kontras. Etalase penuh dengan es krim berbagai warna dan rasa. Dari dark
chocolate sampai semua rasa buah ada. Musik klasik mengalun lembut. Mereka
memilih duduk di luar. Rasanya dulu tempat duduknya tidak seluas ini. Di
kejauhan terlihat Ponte Rialto atau Jembatan Rialto yang legendaris itu. Di
atas Jembatan Rialto, beberapa turis asyik memotret. Sebagian lagi hanya
sekedar menikmati indahnya Canale Grande dari ketinggian.
Ken masih menatap Raya yang sedang menikmati variegato amarena cherry-nya. Raya kini menjelma menjadi wanita kosmopolitan.
Terlihat smart dan elegan. Dari baju yang dikenakannya, nyata dia telah menjadi
warga dunia dalam hal fashion. Tak jauh beda dengan model-model di majalahnya.
“Gue nggak pernah menerima cinta
Stefano.”
“Oh, ya? Gue terlewat banyak kisahmu, Raya.” Ken tertawa kecil.
“Kau bahkan melewatkan banyak tanda-tanda yang kuberikan, Ken,” ucap Raya
pelan.
Ken menghentikan tawanya. Diam. Matanya menyipit. Pause. Hanya terdengar
jeritan gondolier berwajah tampan di atas gondola yang melintas.
“O sole mio
sta 'nfronte a te!
O sole, 'o sole mio…”