Rabu, 24 Juli 2013

ALL ABOUT CHILDHOOD - Bersahabat dengan Alam



ALL ABOUT CHILDHOOD
Bersahabat dengan Alam
Erawati Heru Wardhani

Saya menghabiskan masa kecil di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Desa agraris di mana sawah dan ladang masih luas membentang. Sungai-sungai mengalir dengan air yang masih bersih dan segar. Karena masih banyak sekali pepohonan, desa tempat saya tinggal terasa sejuk dan damai. Di mana-mana terlihat warna hijau dedaunan. Sungguh menyejukkan mata dan hati.
Sebagai anak desa, saya banyak menghabiskan waktu di alam. Meski kedua orang tua saya pendidik, tetapi saya bisa merasakan kehidupan sebagai petani karena hampir setiap hari saya bermain dengan anak-anak petani. Mereka yang hidup dari alam dan untuk alam.
Pulang sekolah, saya kadang bermain dengan teman yang orang tuanya memiliki kebun. Dengan senang hati saya ikut membantu mencabut singkong atau ubi, memetik buah dan sayur termasuk juga membantu menyiram tanaman di kebun. Saya sangat menikmati saat-saat tubuh mungil kami tidak kuat mencabut singkong sehingga tubuh kami terpental. Kami justru tertawa-tawa. Atau saat kami menyiram tanaman sambil saling mengguyur tubuh kami. Bagi saya kegiatan itu bukan bekerja tetapi bermain. Bermain di kebun sungguh menyenangkan.
Sore harinya, saya dan teman-teman bermain di sawah. Ada saja permainan kami. Saat kemarau tiba, kami biasa bermain layang-layang di pematang sawah. Saya sangat akrab dengan segarnya bau rerumputan di pematang sawah, juga aroma lumpur sawah. Bahkan sangat berbiasa ketika kaki kecil saya tergores daun padi. Tidak jarang saya juga ikut nyemplung ke sawah untuk berburu keong. Tubuh belepotan lumpur justru membuat kami senang.
Sebagian besar masyarakat desa saya, terutama yang sehari-hari bekerja sebagai petani, hidup dengan sederhana. Mereka akan memanfaatkan apa saja yang ada di alam untuk kehidupan mereka. Mencari keong dan belut di sawah, mencari ikan di sungai, memetik buah dan sayuran di kebun. Itulah yang mereka konsumsi setiap harinya. Alam memang sudah menyediakan semuanya, tinggal manusianya yang harus berusaha mengolah dan merawatnya.
Yang masih saya ingat sampai sekarang, adalah bagaimana mereka selalu menjaga kelestarian alam. Masyarakat mengambil apa saja yang ada di alam secukupnya saja. Secara kultural sebagai penganut budaya agraris, sebagian masyarakat desa juga masih percaya dengan kekuatan alam. Mereka pantang merusak alam. Mereka sangat peduli dengan kelangsungan hidup alam. Para petani itu selalu memperbaharui tanamannya usai panen. Mengolah dan merawat sawah serta kebun dengan telaten. Alam telah menjadi sahabat sekaligus sumber kehidupan mereka.
Budaya masyarakat agraris yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ritual ‘sedekah bumi’ di desa saya. Saat kecil saya belum tahu apa makna ‘sedekah bumi’. Yang saya tahu waktu itu semua warga berkumpul di balai desa sambil membawa masakan atau tumpeng dari rumah masing-masing. Acara biasanya diawali dengan sambutan dari kepala desa. Selanjutnya, seorang pemuka agama atau ustadz akan memimpin doa. Terakhir semua warga makan bersama. Semua berlangsung meriah dan hangat.
Setelah besar saya baru tahu makna diadakannya ‘sedekah bumi’ yang diadakan setahun sekali. Selain sebagai tanda syukur akan hasil panen, yang terutama adalah doa bersama demi keselamatan bumi agar tetap aman dari segala bencana. Agar alam tetap bersahabat, tetap memberi kehidupan bagi seluruh warga desa.
Saat ini, setelah dewasa dan tinggal di Jakarta, saya sering merindukan suasana saat saya kecil dulu. Rindu dengan hijaunya alam, udara yang bersih dan segar, air sungai yang masih murni. Tapi kerinduan itu hanya tinggal kerinduan. Apa daya polusi udara dan air saat ini semakin parah.
Polusi itu terutama disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Bagaimana tidak, setiap hari saya dan suami yang biasa memakai motor harus menghirup udara yang sudah tercemar timbal dari bahan bakar kendaraan bermotor.
Tapi untunglah, Pertamina terus berinovasi untuk menyempurnakan produk yang sudah ada. Sehingga terciptalah @PertamaxIND bahan bakar bebas timbal yang tentu saja bersahabat dengan lingkungan. Penggunaan @PertamaxIND terbukti bisa mengurangi emisi gas buang kendaraan. Jadi jelaslah, @PertamaxIND telah berkontribusi memecahkan solusi terhadap kualitas udara yang buruk.
Saya seperti menemukan kesamaan antara @PertamaxIND dengan kearifan lokal para petani di desa saya.
a.      Para petani sangat bersahabat dengan alam. Hal itu juga yang dilakukan oleh @PertamaxIND. Bahan bakar @PertamaxIND tidak mengandung timbal yang sangat berbahaya bagi manusia. @Pertamax juga memiliki nilai oktan yang tinggi sehingga menghasilkan pembakaran yang sempurna. Pembakaran yang sempurna akan membuat kinerja mesin menjadi optimal dan gas emisi yang dibuang tidak membahayakan seperti yang terjadi pada pembakaran tidak sempurna. Pada pembakaran sempurna, senyawa hidrokarbon (bahan bakar fosil) membentuk karbon dioksida dan uap air. Sebaliknya pada pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan karbon monoksida yang bersifat racun sehingga bisa mencemari udara.
b.      Para petani begitu telaten merawat alam. Seperti halnya @PertamaxIND merawat mesin kendaran bermotor. @PertamaxIND terbukti mampu membersihkan deposit pada fuel injector, intake valve, dan ruang bakar sehingga performa mesin bisa lebih optimal. @PertamaxIND juga bisa melarutkan tangki air di dalam mobil sehingga tangki bahan bakar terhindari dari korosi dan karat.
c.       Filosofi para petani di desa saya, yang kehidupannya sangat tergantung pada alam, adalah dari alam untuk alam. Begitu juga yang dilakukan oleh @PertamaxIND. @PertamaxIND dibuat dari pengolahan minyak bumi yang ditambah dengan zat aditif saat proses pembuatannya di kilang minyak. Hasil alam yang diolah untuk dimanfaatkan manusia tanpa harus merusak alam.
Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki @PertamaxIND rasanya tidak ada alasan untuk tidak memakai bahan bakar @Pertamax.  Saya dan suami sudah lama menggunakan bahan bakar @PertamaxIND untuk kendaraan kami. Kami mulai dari diri sendiri dan menyarankan kepada saudara, teman serta siapa saja yang peduli dengan lingkungan hidup. Semakin banyak pengguna @PertamaxIND, semakin berkurang polusi udara yang disebabkan emisi kendaraan bermotor. Jika ini terjadi, tidak mustahil, saya bisa menemukan kembali udara yang bersih dan segar seperti suasana puluhan tahun lalu, ketika saya masih kecil.
*****




Tulisan ini saya ikutkan dalam Blog Competition #apaidemu yang diadakan @PertamaxIND

Senin, 08 April 2013

YANG TAK PERNAH TERUNGKAP


Perjalanan selama 3 jam dari Milan, berakhir di Stazione Venezia, Santa Lucia. Begitu keluar dari stasiun, kelelahan Ken setelah dua hari meliput acara fashion di kota pusat mode dunia seolah terbayar. Pemandangan indah yang belasan tahun lalu sempat akrab dengannya kini terbentang di hadapannya. Kanal-kanal dengan airnya yang berwarna hijau lumut, bersih tak ada sampah terlihat. Bus air, taksi air dan tentu saja gondola dengan pendayungnya yang berkaus garis-garis biru-putih, hilir mudik membawa penumpang. Kota ini tidak banyak berubah. Kota yang dinamis, bergerak, dan semarak dengan ratusan turis dari berbagai negara yang sedang menikmati libur musim panas.
Ken berjalan menyusuri tepian kanal. Siang yang terik. Ken mengenakan topi untuk sedikit mengurangi panasnya matahari. Aroma air sungai agak menyengat karena panasnya matahari bercampur udara yang lembab. Beberapa gondoliers, pengayuh gondola terlihat tengah duduk-duduk menunggu penumpang sambil mengobrol. Sebagian lagi tampak sibuk menawarkan jasanya pada turis-turis yang melintas. Gondola-gondola yang ditambatkan di tepian kanal tampak bergoyang-goyang terkena hempasan air. Di kiri kanan kanal berjajar rumah-rumah dengan disain Byzantium. Masih seperti dulu. Mungkin perubahan yang signifikan adalah makin banyaknya kafe-kafe dan restoran di sepanjang kanal.
“Gue tunggu di Gelato Fantasy jam 13.00.”
Itu inbox dari Raya, setengah jam yang lalu. Sekarang 20 menit menuju jam 13.00.
Meski dari dulu terbiasa on time, tapi kali ini Ken sedang tidak ingin dibatasi waktu. Tidak ingin terburu-buru. Cukuplah deadline reportase sehingga semalaman begadang, yang membuatnya merasa dikejar waktu, sampai akhirnya bisa mengirim tulisan pagi tadi.  Toh, Ken tak ingin membuat Raya gusar. Dia mengetik pesan untuk Raya.
“Sebentar lagi gue sampai.”
Raya membaca pesan itu tepat ketika sampai di depan Gelato Fantasy. Sebuah gelateria, kafe dengan menu khusus gelato alias es krim-nya Italia. Di situlah dulu Raya pertama kali mengenal Ken lebih dekat. Empat belas tahun lalu, mereka sama-sama mengikuti program pertukaran pelajar dari AFS. Mereka sama-sama dari Jakarta tapi dari SMA yang berbeda. Suatu ketika seluruh peserta program AFS dari berbagai negara yang tinggal di Roma dan sekitarnya berkesempatan mengunjungi Venesia.
Sebagai sesama Indonesia, Raya menemukan Ken jadi tempat curhat yang asyik tentang segala persoalan selama jadi murid di sebuah sekolah di Kota Roma. Tentang kendala bahasa, juga tentang beberapa pelajaran yang tidak bisa dia mengerti sama sekali. Bayangkan saja, dia yang bersekolah di jurusan IPA ternyata harus belajar filosofia dan istoria dell’arte alias sejarah seni juga. Sejak itu memang Ken lah yang jadi tempat curhat Raya. Hampir tiap hari Raya menelepon. Sampai pada satu titik Ken harus membunuh rasa cinta yang mulai tumbuh. Alasannya, masih terlalu belia bagi mereka dan tentu saja karena ingat dengan tujuan mereka sebagai pelajar yang mewakili bangsa. Tapi yang terutama adalah karena Ken tahu, Stefano, host-brother-nya Raya lebih duluan punya rasa itu pada Raya.
 Program pertukaran pelajar selama 11 bulan, ternyata membuat Raya jatuh cinta dengan Italia. Begitu lulus SMA dia kembali untuk melanjutkan studi di Universita per Stranieri di Perugia. Sementara Ken tetap di Jakarta melanjutkan kuliah di Fakultas Komunikasi. Setelah itu mereka kehilangan kontak. Baru beberapa bulan lalu, Raya menemukan Ken di jejaring sosial. Saling menyapa di dunia maya. Termasuk saat Ken ditugaskan kantornya liputan ke Milan. Ken ingat untuk memberitahu pada Raya.
Gelato Fantasy, 13.17.
Interior yang dulu dicat dengan warna senada, kini berubah penuh warna-warna kontras. Etalase penuh dengan es krim berbagai warna dan rasa. Dari dark chocolate sampai semua rasa buah ada. Musik klasik mengalun lembut. Mereka memilih duduk di luar. Rasanya dulu tempat duduknya tidak seluas ini. Di kejauhan terlihat Ponte Rialto atau Jembatan Rialto yang legendaris itu. Di atas Jembatan Rialto, beberapa turis asyik memotret. Sebagian lagi hanya sekedar menikmati indahnya Canale Grande dari ketinggian.
Ken masih menatap Raya yang sedang menikmati variegato amarena cherry-nya. Raya kini menjelma menjadi wanita kosmopolitan. Terlihat smart dan elegan. Dari baju yang dikenakannya, nyata dia telah menjadi warga dunia dalam hal fashion. Tak jauh beda dengan model-model di majalahnya.
 “Gue nggak pernah menerima cinta Stefano.”
“Oh, ya? Gue terlewat banyak kisahmu, Raya.” Ken tertawa kecil.
“Kau bahkan melewatkan banyak tanda-tanda yang kuberikan, Ken,” ucap Raya pelan.
Ken menghentikan tawanya. Diam. Matanya menyipit. Pause. Hanya terdengar jeritan gondolier berwajah tampan di atas gondola yang melintas.
“O sole mio
sta 'nfronte a te!
O sole, 'o sole mio…”

Selasa, 02 April 2013

ANDAI AKU JADI WANDA HAMIDAH


Kuhempaskan tubuh ke sofa. Lelah. Hanya kata itu yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi fisik dan mentalku saat ini. Gara-gara terseret kasus Raffi, duniaku semakin rumit saja rasanya. Hampir setiap saat, aku dikejar-kejar wartawan infotainment. Belum lagi undangan secara resmi untuk wawancara di berbagai stasiun TV. Semua berlomba ingin mendapat berita paling aktual dan paling sensasional dariku.
Di sisi lain, tugas-tugasku sebagai wakil rakyat di DPRD DKI Jakarta tentu membutuhkan totalitas dan profesionalisme yang tidak main-main. Belum lagi berbagai aktivitas sosial yang memang sudah jadi passionku sejak jaman kuliah. Jangan lupa, statusku sebagai seleb juga selalu menuntutku untuk selalu tampil prima, sempurna! Huufff…
“Mbak, tolong air putih dingin, ya!” teriakku pada pengasuh anakku.
“Ya, Bu,” jawab si mbak singkat dari ruang makan.
Sepi sekali rumah ini, akhir pekan adalah jadwal anak-anak menginap di rumah bapaknya. Sekejap, wajah Chiko, mantan suamiku melintas. Tapi buru-buru aku tepis bayangan itu. Khawatir keterusan membayangkan masa yang sudah berlalu.
Iseng, aku raih remote tv di depanku.
“Foto-foto mesra Wanda Hamidah dan Raffi Ahmad beredar di jejaring sosial… “
Suara presenter terdengar bagai suara lebah yang membuat telinga berdenging dan kepala pusing. Sempat aku melihat tayangan fotoku dan Raffi saat aku menjenguk ke BNN bertepatan dengan ulang tahun Raffi ke-26.
Aaargh! Apa pula ini! Refleks, aku matikan TV. Kenapa bisa pas acara infotainment sialan ini? Rutukku kesal. Aku habiskan segelas air dingin. Semoga bisa mendinginkan kepalaku juga, batinku. Perlahan aku lepas sepatuku. Aku rebahkan kepala ke bantal sofa. Mencoba menenangkan diri. Tapi kenapa aku penasaran dengan kelanjutan berita tadi, ya? Tahu sendirilah, media paling bisa membuat berita biasa jadi luar biasa. Hiperbola.
Klik. Aku pencet lagi remote TV.
“Wanda nggak ada hubungan apa-apa sama Raffi, tolong jangan dibesar-besarkanlah…” Om-ku tampak sedang memberi keterangan pada wartawan.
Lalu, petikan wawancara ayahku dengan wartawan beberapa waktu lalu. Ayah juga punya pernyataan senada. Tegas menyatakan kalau aku memang tidak ada hubungan spesial dengan Raffi. Dan terakhir, tayangan aku saat diwawancara di Polda Metro Jaya.
“Nggak ada hubungan asmara, jangan dipaksakan, dong!” Aku melihat diriku tertawa. Ya, tertawa. Wajahku juga tetap terlihat cerah dan sumringah. Orang-orang memang selalu menilaiku sebagai pribadi yang hangat dan ramah. Sebelum aku mengganti channel TV aku masih menatap senyum sumringah itu.
Klik. Channel berganti. Acara musik.
“Buka saja toopengmuuu… Buka saja tooopengmuuu…”
Tiba-tiba jeritan Ariel seolah menamparku.

Sabtu, 21 April 2012

JERI DAN CICI

Di sebuah lembah yang hijau, hiduplah sekelompok binatang. Mereka hidup tentram dan damai. Lembah yang subur itu membuat penghuninya merasa nyaman dan hidup bahagia. Mereka bisa mendapatkan makanan dengan mudah. Tumbuhan hijau, padang rumput yang terhampar dan danau yang jernih menjadi sumber kehidupan mereka.
Lihatlah, Cici kelinci sedang berlari-lari dengan adik-adiknya di sela-sela daun wortel yang tumbuh subur. Mereka selesai menyantap makan siang mereka. Sekarang mereka tengah asyik bermain sambil menunggu petang tiba. Sementara itu, di tepi danau, tampak Koko kodok sedang asyik menangkap serangga di balik rerumputan.
Agak jauh di tempat yang lebih tinggi, Mbeki kambing dan teman-temannya sedang melahap daun mangkokan. Di dekat mereka tampak Jeri sedang berjalan perlahan sambil melihat-lihat suasana. Jeri adalah seekor jerapah yang baik hati. Teman-teman telah mengangkat Jeri sebagai penjaga lembah. Kenapa bisa begitu, ada ceritanya…
Dulu, Cici sempat memusuhi Jeri. Cici menganggap Jeri adalah binatang yang sombong. Dia tidak pernah bermain dengan binatang-binatang di lembah itu. Cici berusaha mempengaruhi teman-temannya untuk menjauhi Jeri. Jeri yang pendiam bingung dengan sikap mereka yang menjauhinya. Selama ini Jeri sebenarnya ingin bermain dengan teman-teman kecilnya. Jeri hanya tidak tahu bagaimana caranya. Tubuhnya yang menjulang tinggi sedikit menyulitkan untuk bisa bercengkerama dengan teman-temannya. Akhirnya dia memang hanya bisa berbincang dengan teman-teman jerapahnya saja.
Pada suatu hari Cici melihat Jeri berjalan agak cepat ke arah rumpun wortel tempat dia dan adik-adiknya bermain. Cici yang membenci Jeri langsung mempunyi niat jahat. Dia ingin mencelakakan Jeri. Cici tahu, Jeri selalu berjalan dengan kepala tegak dan sering tidak memperhatikan jalanan. Cici cepat-cepat mengumpulkan duri-duri bunga mawar dan memasangnya di jalanan yang akan dilalui Jeri. Cici sengaja bersembunyi, menunggu dengan harap-harap cemas saat-saat Jeri menginjak duri itu.
Benar saja, tak lama kemudian terdengar Jeri mengaduh.
“Aduh, kakiku sakit!” teriaknya.
“Hahaha… rasakan, Jeri… makanya kalau jalan lihat-lihat ke bawah!” Cici keluar dari persembunyiannya.
“Oh, Cici, cepat panggil adik-adikmu ke sini,” kata Jeri dengan gugup dan kaget karena kemunculan Cici yang tiba-tiba.
“Untuk apa? Kau mau mengadukan perbuatanku? Mereka pasti akan membelaku, Jeri!” balas Cici dengan lantang.
Jeri menundukkan lehernya, mendekat ke arah Cici. Dia tidak mempedulikan sakit di kakinya.
“Ayo, naiklah ke leherku, aku datang ke sini untuk memperingatkanmu dan adik-adikmu, di kaki lembah ada seekor harimau yang sedang menuju ke sini,” jawab Jeri dengan cepat.
Cici langsung pucat. Tapi dia masih ragu dengan kata-kata Jeri. Dia hanya berdiam diri.
“Cici, cepat panggil adik-adikmu” Jeri mulai gelisah.
Saat itulah Cici melihat Mbeki kambing berlari ketakutan menuju tempat persembunyian. Dia baru sadar kalau Jeri tidak berbohong. Cici langsung berteriak memanggil saudara-saudaranya yang masih asyik mengunyah wortel.
Adik-adik Cici langsung berdatangan. Mereka pun mengikuti perintah Cici untuk naik ke leher Jeri. Tepat disaat semua kelinci naik ke leher Jeri dan Jeri menaikkan kembali lehernya, seekor harimau muncul. Harimau itu berjalan menuju rumpun wortel. Dia memang mengincar kelinci-kelinci yang segar, dia sudah mencium baunya dari kejauhan. Tapi dia kecewa karena tidak menemui buruannya. Yang dia temui justru jerapah yang menatap tajam ke arahnya. Dia kaget saat melihat kelinci-kelinci buruannya bertengger di leher jerapah.
Tanpa berkata-kata, harimau itu membalikkan badannya lalu berjalan dengan gontai menuruni lembah. Dia berkata dalam hati, tidak akan datang lagi ke lembah itu. Bagaimana aku bisa melahap kelinci-kelinci itu kalau mereka tinggi sekali dan tak bisa dijangkau? Begitu pikirnya.
Cici dan adik-adiknya mengucapkan terima kasih pada Jeri yang telah menyelamatkan mereka. Mereka juga minta maaf telah salah menilai. Jeri ternyata tidak sombong. Dia hanya pendiam dan belum tahu cara bermain dengan teman-teman kecilnya. Cici segera mengobati luka di kaki Jeri dengan ramuan daun-daunan yang dikunyahnya. Dia menyesal telah berbuat jahat pada Jeri yang baik hati.
Sejak itu Cici mengajak teman-temannya untuk bermain dengan Jeri. Tidak hanya Cici, Koko kodok juga senang bertengger di leher Jeri. Sekarang mereka bisa melihat dunia di luar lembah. Semua penghuni lembah juga sepakat menjadikan Jeri sebagai penjaga lembah, karena Jeri adalah binatang yang pertama melihat jika ada musuh yang datang.
Sejak itulah kehidupan di lembah kembali tenang. Tak ada lagi prasangka buruk terhadap teman. Semua bersatu dan hidup dalam kebersamaan.

*****
Pernah dimuat Majalah Mombi

Jumat, 20 April 2012

SOK JAGOAN

Obit baru saja masuk ke kantin sekolah ketika melihat Pepen menyambar kue di depan Reti. Reti yang asyik mengobrol dengan Dina yang duduk di sampingnya sepertinya tidak melihat kuenya raib.
“Pepen!” teriak Obit, membuat Pepen, Reti dan Dina menengok ke arahnya.
“Ada apa?” jawab Pepen sambil terus menjilati gula yang melapisi donat ditangannya.
“Kalau berani macam-macam sama anak perempuan, hadapi aku!” katanya sambil bertolak pinggang.
“Hah?” Pepen langsung berhenti mengunyah donat. Bengong. Begitu juga Reti dan Dina, wajah mereka tampak bingung.
“Reti, kamu nggak tahu kalau kuemu diambil Pepen? Makanya jangan suka keasyikan ngobrol! Kamu nggak tahu kan, kalau kuemu hilang?” Obit nyerocos.
“Kamu apa-apaan, sih, Bit? Pepen memang aku panggil karena mau kukasih kue,” jelas Reti.
“Makanya kalau mau marah lihat-lihat dulu!” sahut Pepen sambil melanjutkan makan donatnya.
Kali ini, Obit yang bengong. Ternyata dia salah duga. Dia jadi malu. Untung Pepen tidak marah, malah tertawa meledek Obit.
Bukan sekali ini saja, Obit menggertak orang. Kemarin sore saat melintas di depan rumah Raihan, dia memergoki Raihan melemparkan bola ke arah balok-balok yang baru saja selesai disusun Jeihan, adiknya. Obit langsung memarahi Raihan.
“Raihan, usil banget sih, sama adik sendiri!” teriaknya.
Raihan kaget, tapi belum sempat Raihan menjawab, Obit sudah berlari menghampiri Jeihan.
“Jeihan, kalau kakakmu usil lagi, biar nanti Kak Obit yang lawan!” katanya sambil membantu membereskan balok-balok Jeihan.
“Kakak nggak usil, kok! Kita lagi main lempar bola. Yang paling banyak merobohkan balok, dia pemenangnya” jawab Jeihan polos.
            “Oh!” Obit tersipu malu, lalu langsung ngeloyor pergi.
Teman-teman Obit jadi heran dengan sikap Obit yang mendadak berlagak jadi pahlawan.
“Kamu kenapa sih, Bit? Kok, sekarang sikapmu jadi kayak jagoan saja?” tanya Pepen penasaran. Saat itu Pepen, Arya dan Romi sedang bermain di teras rumah Obit.
“Aku memang ingin jadi jagoan yang membela siapa saja yang butuh bantuan” jawab Obit tegas.
“Bagus itu, tapi sikapmu terlalu berlebihan, Bit!” sahut Romi.
“Iya, bikin orang jadi sebel dengan gayamu!” timpal Arya sambil memonyongkan mulutnya.
“Mana sering salah, lagi…” tambah Pepen lalu tertawa.
“Eh, kalian kenapa jadi menyerang aku!” Obit teriak marah.
Om Gilang yang sedang membaca di ruang depan sampai keluar mendengar keponakannya ribut di teras.
“Obit, kenapa harus teriak-teriak, sih?”
Obit dan teman-temannya menceritakan semuanya. Om Gilang manggut-manggut sambil sesekali tersenyum.
“Obit, Om mengajari kamu bela diri bukan untuk sombong-sombongan, ya” kata Om Gilang perlahan.
Kali ini giliran teman-teman Obit yang manggut-manggut sambil tersenyum. Mereka baru paham dengan sikap Obit belakangan ini. Obit nyengir malu.
“Namanya juga bela diri, jadi digunakan hanya ketika ada yang ingin berbuat jahat pada kita. Fungsinya untuk membela diri. Bukan untuk menantang atau menyerang orang” jelas Om Gilang.
Obit memang baru seminggu berlatih karate. Om Gilang, adik papanya baru tinggal di rumah Obit karena diterima kuliah di kota tempat Obit tinggal.
Setelah menjelaskan sedikit tentang bela diri karate, Om Gilang menawarkan pada teman-teman Obit untuk ikut berlatih setiap minggu pagi. Kata Om Gilang selain untuk membela diri, karate juga bagus untuk kesehatan.
Teman-teman Obit senang sekali bisa berlatih karate bersama Om Gilang. Obit juga senang. Berlatih dengan banyak teman ternyata lebih seru dan mengasyikkan daripada sendiri. Yang jelas, sejak saat itu Obit tidak lagi bergaya sok jagoan karena sudah tahu kegunaan bela diri.
*****

Pernah Dimuat Majalah Bobo